Sebuah Review Novel: Awan-Awan di Atas Kepala Kita, karya Miranda Malonka.

sipa

--

Maka, jawaban terbaik untuk problems eksistensial kita bukanlah mencari-cari seribu alasan untuk tetap hidup, melainkan memilih untuk tetap hidup meskipun ada seribu satu alasan untuk mati

— Awan-Awan di Atas Kepala Kita.

dapat ditemukan di toko buku favoritmu, atau di Gramedia Digital

Peringatan terlebih dahulu, novel ini akan membuat kamu tidak nyaman jikalau kamu sensitif dengan topik bunuh diri dan toxic relationship.

Bercerita tentang Ben, yang hari itu digagalkan upaya bunuh dirinya oleh seorang gadis bernama Kay. Kay tidak mengerti, mengapa manusia hampir sempurna seperti Ben, yang tegap tubuhnya, enak hidupnya, tampan wajahnya, memilih untuk membuat rencana bunuh diri di jembatan rapuh dengan sungai di bawahnya yang penuh dengan sampah.

Ben tidak mengerti pula, mengapa ada manusia secerah Kay. Senyumnya yang riang, sorot matanya yang hidup, langkahnya yang penuh optimisme, dan bandananya yang menyiratkan banyak harapan. Ben dan Kay adalah kutub berlawanan. Setelah kejadian gagalnya upaya bunuh diri Ben, Kay bersikeras untuk membuat Ben kembali menginginkan kehidupan. Ia datang ke hidup Ben, mengetuk pintu hidupnya, berbicara dengannya, bersitegang dengannya. Kay menolak diusir oleh Ben, walaupun mati-matian Ben berkata bahwa dia tidak butuh manusia seperti Kay.

Kay menginginkan Ben menjadi temannya. Ia tau, Ben butuh teman. Pada akhirnya, hari itu datang. Ben mengganggap Kay sebagai temannya. Namun, sebagai balasan atas deklarasi Ben yang menyatakan bahwa Kay adalah temannya, Ben menyadari bahwa Kay adalah cerminan dirinya sendiri. Ben menyadari bahwa Kay juga adalah manusia yang mau bunuh diri di jembatan yang sama dengannya, dan dia juga butuh pertolongan.

Novel Awan-Awan di Atas Kepala Kita, mengajak aku untuk merenung sejenak. Banyak sekali kalimat dalam novel ini yang buat aku dipaksa untuk sadar, bahwa sudah sepantasnya manusia memang mencari jawaban atas pertanyaaan makna hidupnya. Namun, tidak semua hal memerlukan jawaban. Makna hidup tidak terlalu penting, karena yang penting adalah fakta bahwa kita hidup. Novel ini mengajarkan hal itu.

Sebagai pembaca, aku diajak untuk masuk ke dalam tahap depresi Ben dan Kay. Aku diajak untuk merasakan tentang perasaan Ben yang tidak lagi membutuhkan kehidupannya, Ben yang tidak lagi merasakan apapun, Ben yang kebas, Ben yang kaku, Ben yang tidak lagi memedulikan ramalan cuaca, Ben yang kesepian, Ben yang selalu ingin mati. Tidak hanya itu, aku juga diajak untuk merasakan tentang perasaan Kay yang selalu ia sembunyikan, Kay yang terkubur dalam trauma masa lalu, Kay yang tenggelam dalam mimpi buruk di setiap tidurnya, Kay yang terus merasa bersalah, Kay yang terus merasa ingin diselamatkan.

Novel ini ditulis dengan kalimat jelas yang menyakitkan, tapi juga indah. Selalu ada kalimat yang membuat aku terdiam, lalu membaca kalimat itu berulang kali supaya bisa menjadi pengingat untuk aku sendiri. Perasaan sedih, kesal, puas, prihatin, kasihan, akan menjadi sesuatu yang akan kamu rasakan ketika membaca novel ini. Alurnya tidak mudah aku tebak, karena aku sendiri sampai terdiam menangis tidak menyangka akan berjalan setragis ini.

Akhir review, novel ini memang perlu kamu baca ketika kamu mempertanyakan apa makna hidup yang kamu jalani. Setidaknya mungkin saja, novel ini membuat kamu hidup, walaupun ada seribu satu alasan untuk mati.

Benjamin Iskandar: “Mungkin hidup ini memang tidak harus ada maknanya untuk bisa dijalani.”

--

--

No responses yet

Write a response